Friday, April 20, 2007

Indahnya Memaafkan

Jum'at, pukul 12. 00:
Di masjid sebelah kantor, aku menyimak dengan seksama seorang khotib berceramah tentang kesabaran seorang Nabi Ayyub 'alaihissalam.
Fragmen kehidupan yang mengajarkan bagaimana menyikapi suatu ujian tanpa harus berteriak lantang "Engkau begitu kejam Tuhan, mengapa?"
Karena kesemuanya, didasari kesadaran dan ketundukan, yang membuat kata kesabaran tiada memiliki garis batas hingga "Sang Pembuat Mekanisme Ujian" memisahkan antara ruh dan jasad makhluk-Nya
Jum'at, pukul 12. 15:
Di tengah sholat jum'at, ditingkah suara syahdu imam sholat membacakan beberapa ayat al-qur'an, tiba -tiba cairan hangat memenuhi kelopak mata, entah mengapa.....
Jum'at, pukul 14. 00:
" Mas, minta tolong spanduknya diambilkan jam setengah tiga ya, karena saya sudah balik ke lamongan. Kemarin janji pembuatnya harusnya spanduk itu selesai sebelum jum'at, tolong ya... " nyaring terdengar suara salah seorang temanku dalam suatu kepanitiaan di ujung telepon
"Ok, Insya Alloh, nanti sepulang kerja saya ambil......" jawabku
Jum'at, pukul 15. 00:
"Maaf Mas, spanduknya belum jadi, nanti ya jam setengah lima, ini lagi banyak pesenan juga mas, gimana?" kata seorang wanita umur tiga puluhan, isteri sang pembuat spanduk
Ini sudah yang kesekian kali pemesanan spanduk, di tempat yang sama, tidak tepat waktu. Aku mengatur nafasku, mencoba untuk tidak marah, betapa pun rencananya sesegera mungkin aku berangkat naik bus ke lamongan.
"Ok mbak, saya tunggu sampai jam setengah lima, tapi tolong diantar ke kantor saya di alamat ini " pintaku sembari menyodorkan selembar kertas yang berisi alamat kantorku
" Aku maafkan Ya Robb, sekalipun entah ini yang keberapa kali orang itu tidak menepati janjinya " gumamku mencoba mengalihkan amarahku dengan doa-doa lirihku dalam perjalanan kembali ke kantor
Jum'at, Pukul 17. 00:
Hujan deras mengguyur kota surabaya, aku panik, hingga tiba-tiba HP ku berdering.
" Maaf mas, ini masih dalam perjalan, di sini hujan lebat, tungguin ya......" suara memelas isteri pembuat spanduk mengabarkan keterlambatan-untuk yang kesekian kalinya-mengantarkan spanduk
"Ok, gak papa mbak, saya tunggu...." jawabku mulai merasa iba
Jum'at, setelah sholat maghrib:
Hujan masih begitu deras, memandikan bumi, aku semakin panik, bukan saja karena spanduk yang belum datang, tetapi karena jam segitu angkutan menuju ke terminal Oso Wilangun sudah tidak ada lagi, padahal malam itu aku harus tiba di lamongan untuk menyiapkan talkshow esok hari
Aku membuka mushaf-ku, membaca beberapa ayat suci al-qur'an untuk mengusir kepanikanku, bismillah......
" Ya ALLAH, andaikan aku tadi ikhlas memaafkan kesalahan si pembuat spanduk, maka tolonglah hamba-Mu ini dengan meredakan hujan saat ini juga dan mudahkanlah aku untuk berangkat ke Lamongan... " kembali do'a aku bumbungkan ke udara yang semakin dingin.
Ajaib, subhanallah...
Hujan seketika itu, reda. Sejenak kemudian sang pembuat spanduk datang, dan sembari memohon maaf, ia menyodorkan spanduk pesanan kami
"Segala puji syukur bagi-Mu Ya Rabb, Tuhan sekalian alam... "
Fffiiuh...pantas ada sahabat di zaman Rasulullah SAW yang disebut oleh beliau sebagai ahli surga sampai tiga kali, ternyata amalannya "hanyalah" setiap malam menjelang tidur ia memaafkan dosa-dosa orang yang mendzoliminya seharian itu
"Astaghfirullah... " kalimat pendek yang menemani perjalanan malam itu ke kampung halamanku......

Salam Berbuah Cinta

Diro, sebut saja begitu nama lelaki bujangan asli Jawa ini. Diro dikenal sebagai lelaki yang sopan, hanif, dan punya ciri khas, yakni senang mengucapkan salam "Assalaamu'alaikum" kepada siapa pun -muslim- yang dijumpainya di manapun.
Suatu ketika, Diro ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu dua tahun. Setibanya di kota X itu, lelaki bujangan ini langsung mencari tempat kos/kontrakan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah tiga hari di kota tersebut, Diro baru menyadari bahwa ada gadis cantik dan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Seperti biasa, tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Diro pun mengucapkan salam kepada gadis itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepi jalan.
Sekali lagi, Diro tidak punya niat apapun ketika mengucapkan salam. "Dia berjilbab, jadi sudah pasti muslim, maka saya ucapkan salam kepadanya. Lagi pula gadis itu tetangga saya, kan wajar sama tetangga saling menyapa, " alasannya.
Ucapan salam Diro dibalas delikkan mata tidak suka dari gadis tetangganya itu. Namun Diro tidak peduli, karena niatnya sangat tulus. Begitu pun sore harinya, ketika berpapasan di jalan, Diro kembali mengucapkan, "Assalaamu'alaikum Dik... " Jawabannya tidak berbeda dengan pagi hari, wajah tidak suka.
Mungkin pikir si gadis itu, Diro tidak ubahnya lelaki iseng yang senang menggoda. Sudah lazim diketahui, lelaki-lelaki iseng dan kurang kerjaan senang menggoda wanita. Dan bila yang digoda adalah wanita berjilbab, ucapan "Assalaamu'alaikum" biasa dijadikan andalan mulut-mulut lelaki ini.
Berbeda dengan Diro. Dia tidak sakit hati ketika salamnya tidak dibalas, atau bahkan dibalas dengan tatap mata sinis. Setiap hari, setiap kali bertemu dengan gadis itu tetap mengucapkan salam. Diro tidak bosan meski salamnya selalu mendapat jawaban yang serupa, dan sesekali makian, "maunya apa sih?"
Diro hanya membalasnya dengan senyum seraya menjelaskan, "maaf, salam itu hanya doa untuk adik." Belakangan, Diro mengetahui bahwa nama gadis itu, Dian, sebut saja demikian.
Dua bulan bertugas di kota itu, Diro mendapat panggilan dari kantor pusat untuk memberikan laporan tugasnya. Diro pun kembali ke Jakarta untuk waktu dua pekan.
Sementara di kota X, pagi harinya. Dian belum merasakan apa pun. Namun keesokan harinya, gadis itu baru menyadari ada yang ganjil dengan hari-harinya, baik pagi maupun sore. Ya, Dian merasa ada yang hilang. Setelah berpikir sejenak, barulah ia sadar, tidak ada lagi lelaki yang selama ini mengucapkan "Assalaamu'alaikum" kepadanya. Bahkan keesokan harinya, Dian mulai celingak-celinguk mencari lelaki pengucap salam itu. Satu-dua bis yang biasa ditumpanginya sengaja dibiarkan berlalu, "mungkin dia terlambat" pikirnya. Namun hingga hampir satu jam, yang dinanti tak kunjung tiba.
Sepekan sudah Dian tak melihat lelaki pengucap salam. Sepekan pula telinganya tak mendengar suara khas lelaki itu berucap, "Assalaamu'alaikum Dik... " Rupanya Dian mulai kangen dengan ucapan salam itu. Jika mulanya ia merasa ucapan salam Diro itu sebagai godaan lelaki iseng, ternyata kini ia merindukan ucapan salam itu.
Dian hampir putus asa, hingga satu pekan berikutnya tak kunjung terdengar ucapan salam khas nan lembut itu. Sampai di satu pagi, dari arah belakang terdengar suara khas itu lagi, "Assalaamu'alaikum Dik... " Kali ini giliran Diro yang terheran-heran, karena jawaban lembut dari wajah manis yang diterimanya, "Wa'alaikum salam kak... Apa kabar? Ke mana saja? Lama tidak berjumpa......... "
Sejak hari itu, keduanya menjadi akrab. Hari-hari setelah itu, diisi dengan keriangan keduanya dalam setiap perjumpaannya. Sebuah bukti nyata, bahwa ucapan salam jika diberikan secara ikhlas kepada siapa pun, akan membawa kedamaian bagi yang menerimanya. Hanya beberapa bulan setelah itu, belum satu tahun Diro tinggal di kota X itu, Diro dan Dian sepakat untuk menyatukan hati dalam bingkai rumah tangga.
Maha suci Allah dan Rasulullah, yang mengajarkan kalimat "Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu..". (Ibam)

Susahnya Konsisten

Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Apa yang paling dekat, paling jauh, paling berat, paling ringan, paling besar dan paling tajam dalam hidup ini. Sejujurnya kisah seperti itu sudah sering kudengar, baik lisan maupun tulisan. Namun entah kenapa ketika beliau menyampaikan kembali rasanya begitu tajam menghunjam ke sanubari. Yang paling dekat dengan kita adalah kematian, yang paling jauh dengan kita adalah masa lalu, yang paling besar adalah nafsu, yang paling tajam adalah lidah, yang paling berat adalah amanah dan yang paling ringan adalah meninggalkan sholat.
Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Apalagi suaranya begitu berapi-api, melengking naik turun, kadang mendayu, menusuk langsung ke kalbu, menghanyutkan, apalagi ketika kemudian ayat-ayat Nya dibacakan. Tanpa terasa urat malu serasa dibelah-belah sempurna. Sepertinya ke-enam hal tersebut mulai menjadi hal yang jarang direnungkan. “Gue banget gitu loh”. Tes, tes, tes, air mata menetes malu-malu. Dan seperti biasa setiap dinasehati, hati bernyanyi, berjanji akan menjadi lebih baik.
Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Tanpa terasa 20 menit mengalir begitu saja. Mulut terkunci rapat, hati sunyi, qalbu tertunduk malu. Tersindir sejadi-jadinya. Apalagi ketika paparan tentang melalaikan sholat sebagai hal yang ternyata paling ringan, paling gampang, paling mudah dilakukan. Saya tersindir hebat, berapa kali saya benar-benar berdiri ketika adzan menggema? Apalagi mempersiapkan wudhu, hati, dzikir dan jiwa beberapa saat menjelang azan sehingga saat menghadap padaNya dalam keadaan indah luar biasa. Dan untuk kali ini pula, kami sholat benar-benar tepat pada waktunya. Pembicaraan benar-benar disudahi begitu adzan memanggil. Tidak seperti minggu-minggu biasanya, dikorupsi dulu beberapa menit, bahkan sampai 1 jam.
Saya begitu terpesonanya setelah sosok di depanku selesai memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Pikiran dan hati inipun masih dalam keadaan merenung sempurna saat sosok itu mengajak ke Islamic Book Fair yang lagi digelar di Istora Senayan. Kami banyak berdiskusi kembali tentang hal di atas.
Beberapa jam telah dihabiskan untuk sekedar ’tawaf’ melihat-lihat berpuluh-puluh stand yang tak hanya menjual buku tapi juga pernak pernik muslimah. Dan tanpa terasa magrib pun menjelang. Sosok yang tadi saya ceritakan masih asyik berpindah-pindah dari satu stand jilbab ke stand lainnya. Terus terang saya mulai jengah, karena lebih menyukai stand buku-buku, lagipula adzan maghrib telah memanggil. Sebagai seorang junior, saya mencoba mencolek perlahan dan memberi tanda bahwa magrib telah menjelang. Sebentar lagi saudariku, kata sosok tersebut. Lima menit, 6 menit akhirnya 10 menit menjelang. Wajah ini mulai meradang saat menuju kamar mandi, mengingat betapa antrian wudhu di tempat seperti ini luar biasa. Wudhu rasanya tidaklah sempurna. Alhamdulillah sholat maghrib bisa ditunaikan dengan sempurna tepat 10 menit menjelang Isya. Saya tercenung cukup lama. Betapa konsisten itu susah. Betapa istiqomah itu berat.
Belum habis dzon yang meraja di hati ini, tiba-tiba sosok tersebut berseru kaget. Ternyata teman seorganisasi juga berada di musholla tersebut. ”Alhamdulillah, ketemu mbak Fulanah di sini” ujarnya senang, ”Saya jadi ada teman untuk berangkat bareng ke syuro malam ini”. Saya ikut tersenyum senang. Tapi kemudian situasinya menjadi berbeda saat temannya tersebut mengatakan bahwa dia juga baru saja datang jadi belum sempat lihat-lihat. Muslimah tersebut menawarkan supaya kami duluan saja. Saya setuju karena kaki ini sudah begitu lelah. Dua jam sebelum datang ke book fair saya sudah menemani muslimah lain berkeliling JCC mencari kebutuhan elektronik, karena dianggap 'mengerti'
Namun jawaban teman saya ternyata cukup mengejutkan. Beliau ternyata masih ingin ’tawaf’ karena masih ’penasaran’ dengan beberapa hal yang belum dilihat. Malam sudah cukup larut, menjelang Isya dan terus terang saya tidak berani pulang sendirian menuju jalan raya dari Istora Senayan. Akhirnya saya memilih menunggu mereka di tangga di depan salah satu stand. Menit-menit berlalu cepat dan dzon-dzon yang membuat hati ini tidak nyaman masih bercokol dengan gagahnya. Betapa susahnya konsisten, bahkan terhadap nasehat yang baru kita ucapkan. Perasaan ini begitu menggerogoti kelemahan hati saya sebagai insan. Kecewa, marah, introspeksi, jangan-jangan saya pun sering begitu. Berbeda ucapan dan perbuatan. Belum sepenuhnya istiqomah. Bukankah saya juga jauh dari sempurna. Ya Allah, bahkan saya tidak mampu menyampaikan perasaan saya ke teman saya tersebut.
Menit demi menit berlalu, tanpa terasa sudah lebih 1 jam rupanya saya menunggu ’tawaf sesi ke-2’ ini. Hati mulai tidak tenang. Saya kemudian menghubungi muslimah teman saya dan menanyakan jam berapa kita harus pulang. Tanpa saya duga teman saya menyuruh saya pulang duluan, karena memilih menunggu teman tersebut untuk pulang bersama. Jleb!!! Saya terpana. Sekarang berjuta perasaan campur aduk. Kecewa, marah, sedih, terpukul dan takut, semua campur aduk. Ya saudariku, sudah menjelang pukul setengah 10 malam dan engkau tega menyuruh saya pulang sendiri.
Akhirnya ego saya mengalahkan rasa takut. Memang di luar tidak sesepi seharusnya karena pameran ini masih dikunjungi banyak orang. Namun pedih dan sedih lebih merajai hati dan perasaan saya. Saya berlari menuju terminal busway dan pulang ke kos-an dengan perasaan tidak karuan. Berjanji bahwa ini tidak boleh terjadi lagi. Seharusnya saya pulang setlah sholat maghrib, seharusnya saya tadi tidak ke sini, seharusnya ini itu dan seterusnya. Air mata berlinang-linang mengiringi kemelankolisan hati saya. Ya saudariku, tak sekadar tentang melalaikan shalat, bahkan saya mulai bingung dengan caramu memahami silaturahmi.
Ah entahlah, mungkin saya terlalu melankolis, mungkin sebenarnya ini hal yang biasa saja. Namun Ijinkan saya sekedar berbagi. Supaya nasehat yang semestinya juga buat diri saya, juga bermanfaat buat orang lain.
Redaksi menerima kiriman artikel untuk rubrik Oase Iman. Kirimkan artikel anda melalui FORM yang kami sediakan.